Thursday, January 26, 2017

REKLAMASI TELUK JAKARTA


Selayaknya pembangunan di kota-kota maju di dunia, proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta  juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak yang setuju dan yang tidak setuju memiliki data dan pembelaan masing-masing.

Kubu pro terdiri atas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan para pendukung setianya. Sedangkan kubu kontra terdiri dari para aktivis lingkungan, nelayan, Bu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, sejarawan, budayawan, pakar tata kota, pengamat, dan orang-orang yang selama ini berseberangan dengan Ahok.

https://goo.gl/TP0oZU
Dua pendapat tersebut sama-sama memiliki dasar yang kuat, informasi tersebut bisa kita peroleh dari jurnal-jurnal ilmiah dan hasil penelitian berpuluh tahun yang lalu. Pendapat pertama mencontoh kesuksesan Belanda mereklamasi Rotterdam untuk menahan banjir serta proyek-proyek reklamasi lainnya di belahan dunia lain. Pendapat ini diperkuat dengan kunjungan kerja serta penandatanganan kerja sama bisnis Ahok dengan walikota Rotterdam.

Sementara pendapat kedua diakui oleh beberapa pakar dengan latar belakang pendidikan dan profesi terkait. Mereka lantang bersuara bahwa Indonesia, termasuk Jakarta dengan Kepulauan Seribu-nya, adalah negara kepulauan bukan negara-negara seperti yang dianalogikan oleh kubu pro reklamasi. Indonesia memiliki ciri khas alam dan budaya tersendiri yang tak bisa semena-mena digantikan dengan wajah glamor dan megah hasil impor dari negara lain.

Beberapa aktivis lingkungan, seperti Mbak Melanie Subono dengan tagar #JKTenggelem nya, dan para nelayan mempertanyakan urgensi serta kejelasan hukum proyek tersebut. Sebab, masyarakat Jakarta tidak pernah dilibatkan dalam proyek reklamasi dan hanya menerima jadinya saja tanpa tahu bagaimana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dibuat dan disahkan.

Masuk akal apabila Jakarta membutuhkan tanggul raksasa, tetapi mereka mempertanyakan proyek reklamasi belasan pulau yang konon tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat.

Di media sosial, amat mudah menemukan perdebatan kubu pro dan kotra reklamasi. Sebagian dihiasi dengan jargon-jargon yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri, seperti “Jika tak direklamasi, Jakarta akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan” atau “Lebih baik menyingkirkan segelintir manusia, hewan, dan tanaman langka demi kebaikan jutaan warga Jakarta”.


Alih-alih memperilhatkan rasa cinta terhadap kota kelahiran dan kota tempat hidup, kedua kubu malah terjebak dalam drama perdebatan tak berujung. Tentu lebih baik apabila mereka mau saling bertukar pendapat satu sama lain, hingga tercapai mufakat antara kedua belah pihak.





References :